Jakarta,JPI—PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) sejatinya merupakan upaya percepatan proses yang berkaitan dengan perijinan pada kegiatan pembangunan Gedung dengan berbagai berntuk. Dalam ketentuannya, PBG akan merujuk pada RTRW dan turunannya RDTR; dan secara best practices, perijinan ala PBG membutuhkan panduan dan rujukan dalam pembangunan yang dikenal sebagai Building Code yang diterbitkan pemerintah dan wajib dipatuhi oleh semua pihak yang terkait.
Sejalan dengan semangat UU Cipta Kerja (UU 11/2020) yang lantas dilanjutkan dengan berbagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Perpres, kehadiran ketentuan PBG selayaknya akan mempercepat proses; namun pada kenyataannya justru menimbulkan hambatan (bottlenecking) yang pada akhirnya mengganggu bahkan menghambat kegiatan pembangunan dan bermplikasi pada investasi yang sesungguhnya diharapkan meningkat dengan kehadiran UU Cipta Kerja.
Memahami permasalahan di atas, proses PBG merupakan bagian dari Sistem Administrasi Pemerintah yang juga diperbaiki dalam UU Cipta Kerja dengan melakukan amandemen terhadap UU 30/2014 tentang Sistem Administrasi Pemerintahan.
Selaras dengan semangat pelayanan publik dan ketentuan Standar Pelayanan Minimal dalam penyelenggaraan pelayanan administrasi pemerintahan, maka UU Cipta Kerja memberikan landasan deskrisi dalam pengambilan keputusan agar tidak terjadi kekosongan hukum serta memberikan kepastian dalam proses.
Substansi PBG perlu dipandang sebagai bagian dari pengendalian dan pengawasan bangunan yang memberutuhkan rujukan serta panduan serta pengawasan yang merupakan bentuk pelayanan pemerintah; dengan demikian terhadap layanan ini dapat diberlakukan pungutan atau retribusi.
Secara khusus dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, retribusi itu dimasukkan objek Retribusi Perizinan Tertentu pada pasal 87 serta pasal 88 ayat 4 : Persetujuan Bangunan Gedung dan dengan memperhatikan Pasal 88 ayat 2, retribusi dapat tidak dipungut (kutipan : Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.)
Dengan memperhatikan prasyarat PBG sebagaimana diberikan di atas dan untuk memberikan kepastian dalam proses pelakasanaan perijinan maka perlu diberikan payung hukum dalam pelaksanaannya yang bersifat transisional hingga prasyarat PBG dapat dipenuhi (Perda berkaitan dengan Tata Ruang dan Retribusi) dan proses serta sistem pendukungnya (OSS dan yang berkaitan) dapat berlangsung dan memberikan kepastian hukum. Secara pragmatis penggunaan diskresi merupakan salah satu pilihan; tetapi dengan memperhatikan lingkup dan implikasinya maka diperlukan Peraturan Presiden yang akan menjadi terobosan (debottlenecking) dalam melancarkan proses dan memberikan kepastian.