JAKARTA, JPI—Agar perbankan yakin menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi konsumen properti, sebagian besar pengembang menandatangani perjanjian buy back guarantee (jaminan membeli kembali). Artinya, selama proses KPR berlangsung hingga proses serah terima, pengembang menjamin proyek maupun kemampuan bayar konsumen agar tidak terjadi hal-hal tak diinginkan. Buy back guarantee menjadi jaminan tambahan dari pengembang kepada perbankan.
Namun belakangan beberapa pengembang mengeluhkan tata cara kerja perbankan dalam melakukan rekstrukturisasi kredit nasabah yang bermasalah. Terkait penanganan kredit gagal bayar nasabah (wanprestasi) dalam membayar cicilan rumah subsidi.
Persoalan terjadi ketika wanprestasi oleh nasabah. Penghuninya hilang atau kabur. 2-3 bulan tidak mencicil lagi. Akibatnya semua resiko itu tetap dibebankan kembali kepada pengembang. Pengembang (tetap) harus buyback. Alasannya karena ada perjanjian, pengembang diikat dengan aturan buy back guarantee. Tetapi pengembang tidak boleh langsung take over.
“Menurut kami tidak boleh seperti itu. Tidak adil. Harusnya apabila nasabah itu wanprestasi, maka terjadilah kuasa khusus ke pengembang untuk menjual kembali/take over atau mencarikan debitur untuk melanjutkan kredit tanpa pengajuan KPR ulang. Jadi lanjutkan saja. Jika hal itu diperbolehkan maka ini bisa menjadi salah satu solusi dalam menangani kredit bermasalah, “usul Dwi Nurcahya, Direktur PT Citra Mandiri Dwi Pratama.
Namun jika pengembang langsung jual kembali tidak bisa direalisasikan karena penjualan rumah subsidi akan terikat nomor id yang ada di aplikasi Sikumbang. Akibatnya pengembang tidak bisa jual kembali dengan skema subsidi.
“Nah, persoalan-persoalan yang seperti ini terjadi di lapangan. Tetapi pemerintah seakan-akan tutup mata. Dari sisi perbankan juga nggak ada solusi.,” keluh pengembang rumah subsidi asal Kalimantan Tengah itu.
Menurutnya, harus ada kepastian hukum. Ada mitigasi yang harus disiapkan regulator tentang penanganan resiko dari sebuah produk perbankan.
Tantangan Program 3 Juta Rumah
Menyoal program 3 juta rumah program Prabowo-Gibran. Dwi berpendapat harus melihat dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply salah satunya soal jaminan ketersediaan lahan, regulasi perizinan rumah subsidi dan lain-lain.
“Regulasi regulasi yang kira-kira susah diimplementasikan itu nggak usah. Karena ini adalah celah-celah untuk KPK masuk. Tidak boleh ada aturan yang abu-abu,”pintanya
Kemudian tentang demand. Persoalan yang terjadi KPR masyarakat banyak yang “nyangkut” di BI Cheking alias SLIK OJK.
“Perlu relaksasi. Bahwa dipinjaman nilai tertentu. Dikasus-kasus tertentu itu diabaikan saja. Karena itu perlu aturannya dari OJK. Persoalannya beberapa aturan dari OJK mungkin tidak relevan lagi dengan era sekarang. Harus di upgrade,” usulnya.
Dwi mencontohkan soal scoring nasabah. Scoring yang dilakukan perbankan, menurutnya tidak boleh dilakukan sama di semua daerah. Contohnya scoring 30% yang diberlakukan Bank BTN di semua daerah. Menurutnya hal itu sudah tidak relevan. Karena masing-masing daerah itu UMR-nya berbeda. Jawa Tengah dengan UMR Rp 2 juta maka dengan scoring 30% tidak bisa diterapkan. Pada akhirnya banyak program KPR FLPP yang kemudian belum terserap.
“Jadi hal-hal seperti itu juga harus diatur. Selama ini perbankan nggak pernah ada update aturan-aturan di internalnya. Kaku. Pada akkhirnya yang jadi korban adalah pengembang. Harus ada harmonisasi antara pemangku kebijakan,” pungkasnya.
undefined